Sudah cukup lama aku dan Ibu tidak berjumpa, karena aku tengah sibuk mengurusi perusahaanku. Dan akhirnya aku putuskan untuk membawa pekerjaanku ke Solo, ke rumah Ibu. Aku bertemu Ibu, ku kecup telapak tangannya, ku peluk tubuh hangatnya, dan ku merindukan semua kenangan indah semasa kecil ku saat melihat mata sendu Ibu, dan mendengar suara lembut Ibu, “Ibu, aku rindu.” Kukatakan padanya.
Sudah dua hari ini, aku berada di Solo bersama Ibu. Masih seperti waktu aku kecil, setelah melaksanakan shalat Maghrib dilanjutkan membaca Al-qur`an. Namun, yang berbeda hanyalah, saat aku masih kecil, aku akan menemani Ibu sembari menunggu Ayah pulang bertani. Namun, sekarang berubah semenjak Ayah wafat.
Aku pergi menuju kamar dengan niat untuk menyelesaikan pekerjaanku. Namun, beberapa saat setelahnya, “Nak…” Ibu memanggi diriku. “Yaa Bu, ada apa?” aku keluar dari kamar untuk menghampiri beliau. “Lagi apa?” tanya beliau seketika. “Aku lagi menyelesaikan pekerjaanku, Bu. Hehe,” jawabku, “Kerjaan lagi?” beliau menunjukkan perasaan kecewa. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawabannya.
Ibu berlalu, aku kembali kekamarku. Aku mematikan laptopku, lalu keluar kamar untuk menemani Ibu, seperti dahulu. Aku tahu, Ibu butuh teman maka dari itu Ibu merasa kecewa saat aku menjawab ‘lagi menyelesaikan kerjaan’. Aku mendapati Ibu sedang menggenggam Handphone ku, tanpa membuang waktu aku pun menghampirinya. “Ibu lagi apa?” tanyaku selembut mungkin. Ibu diam. Aku rasa, Ibu marah. “Ibu lagi apa?” aku kembali bersuara. Namun Ibu tetap pada posisi dan pilihannya, yaitu diam. “Ibu kok diem aja? Ibu kenapa?” aku khawatir.
Aku memandang wajah Ibu, dan saat itulah Ibu menitikkan air mata. Aku khawatir, “Bu, ibu kenapa nangis?” untuk sesaat Ibu melihatku dan

bersuara, “Ibu iri sama handphone ini, meskipun ia tak punya perasaan tapi ia selalu kau ingat ketika kau bekerja, Ibu ingin menjadi buku yang tak pernah bosan untuk kau baca, Ibu ingin—“
​“Bu, Ibu udaah jangan nangis lagii… aku mohon, maafin semua kesalahan aku, Bu.” Aku memeluk Ibu dalam tan
​“Bukan kata maaf yang ingin Ibu dengar, anakku. Ibu hanya ingin kau menemani Ibu disini, bukan hanya sekedar menanyakan kabar Ibu melalui telepon. Ibu butuh kamu disaat masa tua Ibu. Ibu ingin dilayani kamu. Ibu ingin dibuatin susu coklat sama kamu, seperti saat kau masih kecil. Ibu ingin diajak bicara sebelum tidur siang serta dibacakan cerita menjelang tidur. Ibu ingin berperan menjadi kamu kecil, dan kamu yang berperan menjadi Ibu seperti dahulu.” Ibu mengutarakan perasaannya.
“Aku salah. Aku lengah untuk Ibu. Aku menyesal. Aku mohon, maafin aku Bu… aku janji, aku akan melayani Ibu dan menuruti semua keinginan Ibu.” Aku tersenyum. “Terima Kasih, nak.” Aku memeluk erat tubuh Ibu, dan Ibu membalas pelukan itu.  “Udah malem bu, kita tidur ya.” Aku mengajak Ibu. “Ibu mau diceritain tentang pengalaman kamu aja, ibu gak mau cerita rakyat.” Pinta Ibu. “Baik, Bu.” Aku tersenyum.
Aku mulai menceritakan tentang pengalamanku, sesuai permintaan Ibu. Telapak tangan kanan ku mengelus lembut telapak tangan kiri Ibu. Namun, beberapa saat. Ketika ceritaku sudah dipenghujung, aku melihat mata Ibu yang sudah terpejam dengan bibir yang membentuk seulas senyum indah. Ku sadar, telapak tangan Ibu sangat dingin. ‘mungkin Ibu kedinginan’ batinku. Segera  ku selimuti tubuh Ibu. Saat ku ingin mengecup kening Ibu, aku melihat bahwa rambut Ibu rontok. Aku terkejut.
​​​​Aku menggerakkan tangan Ibu dengan niat ingin bertanya sebentar, tak sengaja aku menyentuh bagin urat nadi di telapak tangan Ibu. Tak berdenyut. Tak percaya, kembali aku mengecek.

Dan ternyata, Ibu sudah meninggal dunia. Ibu meninggalkan diriku sendiri, disini. Di tempat ini. Secepat ini? Ku sampaikan semua maaf ku kepadanya, semoga Ibu sudah memaafkan ku.

Sudah 3 hari Ibu disemayamkan di pemakaman, bersampingan dengan makam Ayah. 3 hari kujalani ibarat 3 tahun tanpa Ibu. Aku ikhlas, meski ada rasa kehilangan. Aku pulang dari pemakaman Ibu, dan tiba-tiba ada tetangga dekat Ibu, “Nak,” panggilnya, “Ya Bu? Ada apa?” sahutku. “Yang sabar ya, nak.” Lanjut beliau, “Insyaa Allah, Bu.” Aku mengulas senyum. ​“Bu, silahkan masuk.” Aku mempersilahkan beliau untuk masuk, karena sepertinya itulah permintaannya.

​Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu utuh. “Jadi, sebenernya Ibu kesini mau memberitahu, bahwa Ibumu sudah cukup lama mengidap penyakit kanker otak.” Diri ini terdiam, membeku. Diam, membungkam. ‘Mengapa saya tidak tahu? Mengapa Ibu tak pernah mengatakannya?’ aku membatin.
“Ibumu merahasiakan ini darimu karena tak mau membebankanmu,” lanjutnya, “Maaf jika saya membuat kamu jadi merasa terbebankan, tapi menurut saya setiap anak memiliki hak tahu tentang orangtuanya. Jadi saya memberitahu Nak ini,” aku tersenyum hambar, “Terima kasih banyak Bu atas semuanya,“ beliau mengangguk. Oh iya Ibumu telah menyiapkan sebuah kejutan, katanya akan diberikan jika Nak kesini. Apakah Nak mengetahuinya?” Alis ku mengerut, bingung. “Apa itu, Bu?” tanyaku penasaran. “Kata Ibumu sih kejutannya dia simpan di laci meja belajar.” Aku tertegun, “Laci meja belajarku? Tempat diary ku semasa kecil.” Ucapku pelan dengan seulas senyum tercetak dibibirku.

Beliau pamit pulang. Selepas itu, aku mencari kejutan dari Ibu di laci meja belajarku dulu dengan penuh semangat. Ku lihat, terpampang tulisan Ibu, untuk putri ku tercinta. Seketika aku membayangkan wajah Ibu dengan senyumannya.

Ku peluk kertas itu,  “I Love You, Mom.” Mataku terpejam. Terdapat kotak besar disana, dan ku buka. “Sweater?” Ini sweater untuk putri tercinta ku, maaf Ibu baru menyelesaikan rajutannya. Semoga kamu suka ya, Nak. “Sweater kesukaan ku, Bu. Pasti.” Aku memeluk semua kejutan pemberian Ibu, yang diiringi dengan air mata. “Terima kasih banyak Ibuku tercinta.” Aku tersenyum bahagia